Selasa, 30 Agustus 2011

Ketika ketakutan itu menghantui


tahun ini lebih berbeda, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya bukan karena gw gak lebaran di kampung ini juga udah tahun ketiga gw gak mudik sejak jadi perantauan. Tapi lebih karena tahun ini lebaran gw dalam ketakutan.

Sebuah tes yang gw anggap besar tengah menanti di hadapan. Tanpa basa basi emosi pun tiada mampu ditahan dan dikendalikan. Meledak-ledak layaknya petasan, menyembur seperti larva panas. Berulang kali tak termaafkan dan masih saja akan seperti itu.

Deritanya ketika banyak kata yang tak terucapkan. Ketika sakit yang terasa kau pendam, ketika pedih yang merajalela kau redam, bersiaplah meledak dalam waktu yang tak ditentukan. Banyak yang berkata "apa susahnya kau berterus terang, katakan apa yang kau rasakan, dan semua akan mengerti"

Tak segampang itu kawan, lidah ku memang tak terbuat dari cairan biasa yang gampang beku dalam suhu rendah, juga bukan dari besi perkasa yang tak bisa lagi dibentuk, lidahku seperti lidahmu, bisa kelu dan kaku tanpa perubahan suhu atau pun perbedaan keadaan.

Kau melihat aku ibaratnya air yang membeku diatas danau kawan. Penampakan luarku begitu tangguh seperti tak terkalahkan, namun hati ku rapuh dan gampang terpatahkan. di balik bekuan es keras yang terlihat, tersimpan hiu-hiu lapar yang siap menerkam, serta air yang keruh karena dada bergemuruh.

Kawan, aku mempercayai banyak hal kepada banyak orang, namun tak banyak yang kupercayai untuk hal-hal lainnya. Aku memilih dian untuk melupakan dalam kesendirian dan bersiap waktu yang akan memberi jawaban.
Aku merasa berbeda dari yang biasa, merasa terasing dalam kehebohan dunia, menjadi sendiri meski banyak orang pada faktanya. Kenyamananku dalam kesendirian telah menghantui banyak ingatan. pikiranku berkecamuk kata ketakutan, dan aku tumbuh liar diantara damainya malam. siapa yang peduli?? Mungkin hanya sedikit energi yang terpahami

aku terlalu lemah akan pujian, dan rapuh dengan cercaan. merasa berbeda dalam keterasingan. mungkin aku kurang bersyukur atas apa yang ku dapatkan, namun kenapa sulit hati ini untuk menyadari atas semua ketercukupan.

'maafkan masa lalumu, karena sesuram apapun masa lalumu, masa depanmu masih suci dan ukirlah dia dengan prestasi' benar kawan, yang kau katakan benar kawan, aku percaya itu. Genggamlah tanganku dan ajarkan aku untuk memaafkan, ajarkan aku memaafkan masa lalu yang ada, dan menerima semua sebagai hal yang ideal.

seperti berada dalam sebuah gubuk reot yang siap dihancurkan kapan saja, yang mana di sekelilingnya gedung-gedung raksasa yang terus tangguh, kokoh, dan tak terbantahkan. Setiap harinya dari gubuk reot tersebut kau bangun sedikit harapan meski bukan jangka panjang. Meski lebih sering terhancurkan oleh kenyataan.

Maafkan maafkan maafkan untuk ketidaksengajaan dan kesengajaan tingkah yang menyakitkan. Sebuah perbedaan yang tak terpahamkan, dan mengais persamaan diantara debu-debu perbedaan. Mencoba menemukan kewajaran di antara hal aneh yang tak terjelaskan.

Kawan,, aku tak kan menangis, karena aku tak akan mengubah pandanganmu tentang kuatnya lapisan es yang ku bangun di atas hamparan air danau di musim salju ini kawan. Semoga kelak kebebasan tak terbantahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar